Lelaki dan Sekuntum Kamboja

Lelaki dan Sekuntum Kamboja

Cerpen M. Arman AZ

Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?

Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.

Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya.

Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.

Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.

Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
***
Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.

Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.

Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?

Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.

Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.

Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.

Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.

Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.
***
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.

Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.

"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.

Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.

"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku.

Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.

Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.

"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."

Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.

Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.
***
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.

Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.

Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.

Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.

Cahaya Bulan

Cahaya Bulan

Cerpen Guy de Maupassant

Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss.

Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara.

Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya.

Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan.

Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss.

Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya.

Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?"
Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?"

Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi.
"Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku pasti akan mengetahuinya."

Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!"

Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku … aku punya seorang kekasih."
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya.

Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan.

"Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mudah jatuh.

Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.

Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu.

Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’

Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat.

Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu.

Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat.

Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?

Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’

Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit.

Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.

Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.
Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!"

Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu." ***


Catatan: Judul asli Moonlight karya Guy de Maupassant. Cerpen ini diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, penulis dan pengelola penerbitan di Jogja. Guy de Maupassant adalah cerpenis kelahiran Chateau de Miromesniel, Dieppe pada 5 Agustus 1850. Selama hidupnya, dia telah menulis lebih dari 300 cerita pendek, enam novel, tiga buku perjalanan, dan sebuah kumpulan puisi. Maupassant sudah menderita sifilis semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia berusaha bunuh diri dengan menusuk tenggorokannya sendiri. Dia meninggal

Rajam

Rajam

Cerpen Muhidin M. Dahlan

DI SIANG garang, di atas paha terbuka istrimu yang membelaimu lembut, kau melihat dari alam jauhmu sebuah kematian yang paling indah dan mencekam. Kematian seorang perempuan jalang.

Ya, seorang perempuan jalang, di lapangan kota, diseret digelandang dalam sebuah iring-iringan riuh. Mirip upacara keagamaan. Beduk-beduk, gending-gending, memekik memekakkan telinga. Ini bukan pasar atau ritual sunatan atau riuh mauludan saban tahun. Tapi riuh gending dan beduk ini adalah tabuh kematian. Sebentar lagi, sejelang lagi, akan tercetus kematian seorang perempuan jalang yang merobek-robek kesadaran beragamamu kelak di kemudian hari.

Di lapangan itu neraka jahanam didandani. Di lapangan itu sebentar lagi ulama-ulama tahkim kota akan menjatuhkan palu takdir kematian yang barangkali paling mengerikan jika dilihat dari sudut pandang perempuan jalang itu. Sudut pandang korban yang teraniaya karena ketakberdayaan membela diri atau berdebat tentang mana yang benar mana yang salah mana yang boleh mana yang tidak. Sebuah upacara kafarat. Semacam denda yang harus dibayar karena melanggar aturan Tuhan. Dan denda itu adalah darah yang berujung pada kematian. Rajam.

Dan perempuan jalang malang itu, terbersitkah dalam alam sadarnya bahwa dalam tabuhan beduk dan gending serta sorak riuh memekak itu bersemayam hantu kekejian dan keberingasan yang berzirah rubah kegelapan. Dan semua zirah itu berebut tempat tersembunyi dan kelam dalam jiwa manusia yang kemudian menyeradak keluar dengan cara yang tak terduga. Dan barangkali dengan cara yang tak masuk akal.

Di tengah lapangan, telah tersedia liang yang digali sepagi tadi. Sepinggulan dalamnya. Dan di sana dipancangkan sebilah bambu setinggi tombak pemburu babi. Bambu-bambu belahan yang dipotong pendek-pendek dan sebentangan tambang memagari lubang itu dalam jarak 10 kaki. Dibuat melingkar. Terukur dengan baik untuk sebuah penyiksaan brutal atas perilaku jalang. Atas nama kafarat. Dan nantinya drama ini bisa menjadi semacam nubuat yang gemuruhnya bisa tersesap dalam pori-pori, dalam alam sadar, bahwa hidup harus baik-baik saja. Kalau tidak, neraka jahanam akan terlalu sering digelar di lapangan kota atau di mana pun. Dan yang kena tak terkecuali. Siapa pun yang berani hidup jalang dan lancung.

Dan kematian itu bukan lagi semacam gertakan bagi perempuan jalang itu. Sebab dalam liang itu separuh tubuhnya ditanam. Sementara tangannya akan diikat melipat ke belakang berdempet dengan sebatang bambu yang berdiri meneguh dengan permukaan yang bersayat tajam. Cukup untuk melukai kalau tangan bergerak atau berusaha meronta. Dan batu-batu akan beringas menghujaninya.

Kau tak tahu, apa persisnya salah perempuan itu hingga beduk hari ini bertalu dan gending dipukul-pukul hingga muntah tak beraturan di cuping-cuping kuping.

Yang kau tahu, ini pun samar-samar dan belum bisa dijadikan pegangan yang pasti dan meyakinkan, perempuan jalang itu datang dari wilayah antah berantah. Dan di sebuah pagi, dia muncul begitu saja. Tapi bukan ini yang menjadi masalah, melainkan ulahnya berkitar-kitar di tengah kota. Dia berjalan seenaknya dengan tak satu pun kain membungkusi tubuhnya. Kotor dan menjinjikkan. Menyebarkan bau amis dan membuat muntah biri-biri yang berpapasan. Serupa sampah yang sudah berbulan-bulan tak pernah dibakar atau ditanam. Pun begitu bagi lelaki dewasa yang melihatnya tentu masih tersisa asyiknya tubuh kotor itu. Bagi anak-anak tentu tubuh lancung itu bisa menjadi semacam hiburan. Dan bagi perempuan-perempuan mulia dan beradab tentu menahan malu yang tak kepalang. Beberapa orang perempuan mulia pernah berpapasan lalu menyiramnya dengan air dari radius beberapa meter. Atau pernah suatu kali langsung menceburkannya ke sungai dan melemparinya kain.

Tapi itu tak bertahan lama. Beberapa hari kemudian dia akan kedapatan di tengah kota berjalan tanpa balutan secarik pun kain. Dan tingkah lakunya makin lama makin tak senonoh. Dia tak segan-segan menari-nari di pasar dan kemaluannya digosok-gosokkan di tiang umbul-umbul. Atau berjingkrak-jingkrak di pintu depan masjid ketika orang-orang hendak mendirikan kewajiban sembahyang.

Dan bahkan pada malam hari beberapa kali menghadang para santri selepas pengajian di surau dan memintanya agar bersedia membuntinginya. Sebab, katanya, dengan punya anak dari cairan pelafaz-pelafaz nama Tuhan, dunianya tak lagi sesunyi seperti dijalaninya hingga hari ini. Perjalanan yang sungguh melelahkan dan tak tertanggungkan. Dia akan senang sekali jika kebuntingan itu datang dan melihat makhluk pembunuh sunyi itu menggelantung selama dua tahun di puting teteknya yang kelak tak segering saat ini.

Bahkan untuk mengejar kehendak itu, beberapa kali dia menggoda para guru ngaji yang barangkali saja mau bersedia bersamanya. Mengajarkannya ngaji dan dia akan membalasnya dengan imbalan menunjukkan bagaimana memijat bagian-bagian tubuh lelanang yang mendatangkan kenikmatan tak terkira.

Karena usahanya yang gigih itu, dia pun beroleh beberapa kali keberuntungan. Beberapa kali dia mampu mencucup cairan santri dan guru ngaji. Dan sejak itu dia menemukan resep bahwa untuk mendapatkan cairan itu, dia tak boleh lagi berjalan telanjang seperti dulu lagi. Tubuh harus bersih dan kalau perlu dibaluri melati pewangi yang bisa dipetiki dari dalam pagar-pagar warga di malam hari. Dan dia tak boleh lagi meminta cairan suci itu di tempat terbuka, tapi harus menghadangnya di tempat yang paling gelap. Di semak-semak yang jarang kena jamah orang banyak. Atau di bawah lincak di pasar yang gelap. Bahkan di belakang jamban yang jauh dari surau. Di situ biasanya dia mengintip lelaki santri atau ustad yang kencing berdiri. Dan bukannya dia tidak memilih. Dia terihik-ihik sendiri bila mendengar suara kencing di antara mereka. Yang suara kencingnya hanya seperti hujan kapas, pertanda zakarnya kecil. Lain jika kencingnya memercik deras dan menggelontor cresssssss. Itu pertanda zakarnya besar. Dan yang kedua ini yang dipastikan akan dimintainya berkuda bersama dalam kegelapan.

Dari satu dua pelafaz yang mencicipinya, dia jadi tahu bahwa mereka itu sesungguhnya mau. Tapi malu yang dalamlah yang membuat mereka memalingkan muka dan pura-pura berwajah pias dan menunjukkan kemuakan yang tiada banding. Sebab tak terbayangkan jika ketahuan secara terbuka sedang bertukar tangkap dengan ganasnya, tak terkiralah bagaimana martabat kesucian yang mereka pelihara sedemikian rupa akan jatuh berantakan.

Betapa tulusnya dia melakukan praktik-praktik sundal itu. Hanya untuk mendapatkan keturunan yang baik-baik dari cairan mereka yang jalan darahnya kerap tercampur dengan ruap nama Tuhan Yang Agung. Tapi ulama dan orang-orang berbudi punya pendapat lain. Senonoh ya senonoh. Sundal ya sundal. Tak peduli apa pun motifnya. Generasi muda, santri-santri yang masih labil, harus diselamatkan dari kebangkrutan moral. Apalagi, istri-istri yang dibakar cemburu karena suaminya ada main dengan perempuan jalang, bersatu padu menghadap ulama-ulama tahkim agar mengambil tindakan keras. Dan para ulama tahkim itu berkesimpulan bahwa perempuan jalang itulah penyebab pertama terjadinya perzinahan besar-besaran yang dilakukan dengan sembunyi di mana pun di tempat paling temaram yang disediakan kota suci ini. Dengan sigap dan antisipasi berkecambahnya kerusakan akhlak penduduk kota yang kian parah, ulama-ulama itu menyerukan penangkapan.

Dan di tepi teritis surau di pinggiran kota yang sepi, kala dia duduk terpekur entah meratapkan apa --mungkin bermunajat-- segerombol kadet kota menangkapnya, menggelandangnya, dan menyeretnya ke neraka bumi.

Dan di siang hari yang ganas, di tengah lapangan, lubang rajam separuh badan itu menunggunya. Lubang yang akan mengakhiri takdir buruk dan kutuk bumi jahanam.

KAU menyeruak di antara orang-orang yang berbaris rapat. Berlapis-lapis. Menyikut kiri kanan hanya untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari jarak pandang yang terdekat. Di pinggir lingkaran bambu.

Dan terang sudah. Kau lihat zirah yang menempel di tubuhnya sudah koyak. Dicabik-cabik para istri yang kalap dan marah karena cemburu di sepanjang jalan menuju tengah kota. Kain itu seperti tersampir begitu saja. Mungkin kain sebelumnya yang dikenakan perempuan ini sudah habis lumat di tengah jalan oleh luapan amarah dan diganti ala kadarnya untuk menutup malu bagi yang melihatnya. Hanya agar alim ulama yang menghadiri upacara kafarat tidak turut memikul dosa karena zina mata.

Kau memperhatikannya dalam-dalam. Dari ujung rambut yang menggerai berantakan hingga ujung kakinya yang terkelupas terpapas tanah batu keras sepanjang jalan penyeretan. Dan matamu berhenti di mulutnya. Kau melihat sesuatu di bibirnya. Seperti sepotong puding di bibir yang memerah darah. Dan di bibir yang mengunyah puding itu kaulihat sebarisan pawai kata-kata pilu dan lelah --juga terluka parah dari peperangan yang sedang dan masih berlangsung. Kaulihat kata-kata itu hendak melompat dari gerbang mulutnya yang luka. Tapi sederet pawai kata yang luka itu tercekat dan tertelan oleh riuh teriakan, sumpah serapah perempuan-perempuan mulia, istri-istri setia, dan gumaman ragu para lelaki pencicip di barisan paling belakang.

Walau batal melompat, kata-kata tak terkata itu bisa kaurasai getarannya dari tempatmu berdiri berdesak-desakan. Kata-kata itu mengembang dalam pori-pori bayangan, menyatu dengan riuh, mengambang bersama udara. Mungkin meledak gemuruh. Menjelma menjadi sebentuk irama-irama yang ganjil. Dan bisa jadi sebentuk derau kemabukan. Gumam aduh yang tercekat terpendam. Atau kesakitan yang genting.

Hingga kaulihat ketika separuh tubuhnya sudah tertanam sempurna, semua orang mengambil posisi melempar. Memungut batu-batu yang sudah disiapkan. Memilih-milih yang kalau bisa seukuran kepal supaya lontarannya tepat sasaran. Ini bukan upacara sunatan. Atau pasar reguler untuk jual beli. Atau pesta mauludan. Atau gerebek syawal. Ini adalah kerumunan perajam.

Tapi kau tak mengambil posisi yang sama. Bersama-sama mengepal batu. Kau takut. Kau merinding. Kau ingin seperti Isa, maju memeluknya yang sedang terpacak kuat di bambu dengan tubuh setengah tertanam. Melindunginya di balik lenganmu. Ingin menjadikan tubuhmu zirah untuknya, sebagaimana perlindungan Isa kepada perempuan pelacur Magdalena. Semacam baju perang Imam Ali di Perang Tabuk.

Tapi segera kausadar bahwa ini bukanlah permainan debus. Tubuhmu tak punya nyali dan kekebalan untuk menghalau derau batu yang datang seperti guyuran bandang.

Dan seonggok tubuh yang terikat dan tertanam separuh itu, seperti tak butuh pertolonganmu. Atau siapa pun yang bermimpi jadi pahlawan di tubir kematian. Sebab dibibirnya, kau lihat teraut seruas senyum. Sangat tipis senyum itu sehingga tak mungkin tertangkap mata siapa pun yang sedang marah. Mungkin itu karena puding yang terkunyah dan belum tertelan habis. Atau bisa jadi ekspresi yang paling genting berduel dengan kematian di hadapan warga dan kadet kota yang kalap. Ataukah puding di mulutnya itu yang membuatnya begitu kuat menghadapi dukacita. Dan dukacita yang paling menyesap di hatinya adalah bahwa hingga kematian menjelang, dia belum juga dikaruniai buah hati dari sumbangan cairan para lelaki pelafaz nama-nama indah Tuhan yang sudah dicucupnya.

Dan tubuh itu pun terkulai setelah dua pertiga jam berada dalam drama pelemparan yang mencekam. Darah berceceran di mana-mana. Di atas tumpukan batu-batu yang tajam mengoyak. Cabik-cabik daging yang meloncat dari raga berburai di atas tanah. Berbaur bersama peluh para perajam yang kelelahan menghujaninya dengan batu.

Dan kau hanya menyaksikan itu semua dengan tangan menutup muka. Seperti mata yang tak rela melihat darah mengucur. Tak lama berselang kau pun berlalu bersama berlalunya yang lain-lain. Tapi tidak kembali ke rumah, tapi menuju kuburan perempuan jalang itu. Ingin melihat apakah puding di mulutnya dibawanya serta.***

Sang Pengembara

Sang Pengembara

Cerpen:

CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.

"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"

"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.

Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.

Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.

Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.

Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.

Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.

Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.

Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.

Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri

kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan

mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.

Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.

Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.

Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.

Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.

Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.

Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.

Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.

Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.

Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.

Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.

Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.

Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.

Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.

Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.

"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.

Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.

Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?

"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.

Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.

"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.

"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.

Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.

"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.

Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.

"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.

Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!

Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.

"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.

Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.

"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya

Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, "Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?"

Mimpi Terindah Sebelum Mati

Mimpi Terindah Sebelum Mati

Cerpen Maya Wulan

RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

Di Dusun Lembah Krakatau

Di Dusun Lembah Krakatau

Cerpen St. Fatimah*)

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini. Maafkan Emak, Jo."

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?"
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.

Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, "Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan."

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa menghardik rasa kantuknya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah. Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya. Satu-dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya, membawa badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi --hampir menyundul dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak bergerilya ke sebalik lubang-lubang amat gelap.

Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap, amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek, menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan. Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.

Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di sebelah barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di kanan-kiri badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi setindak menuju ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan cahaya kilat. Betapapun emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya yang bernaung dalam kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali wajah tubuh itu. Tapi jelas, dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang menuju ke arahnya itu adalah sosok perempuan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya, bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.

Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki, dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh…."

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia bilamana purnama telah sempurna….!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.

Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing biasa. Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya. Perutnya lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya lebih rapuh daripada pengemis tua renta yang terlantar.

Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri "aneh" itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada malam ganjil itu adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya. Bahkan kepala sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan yang lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil. Sementara minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak putarannya yang kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa bantuan dukun, tabib, atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya nama Banjo.

Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula kerongkongan emak semakin tercekat.

Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil itu. "Aku minta anakku dari rahimmu….!" Emak tersimpuh lemas di samping bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.

Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang meronta-ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram jeruji-jeruji kayu, membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat itulah seorang anak kecil ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya ketika mendengar genderang dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang tambur tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi arak-arakan para lelaki dusun sambil memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji mata anak kecil itu mengikuti arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya dicoreng-corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam kurungan kayu yang ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta sebuah pohon kekar, mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon itulah Banjo dibaringkan di atas meja batu berlumut.

Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu. Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal mantra.

Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu, terhitung sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya manusia di hadirat Hyang.

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam, makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang, kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang.

Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun yang tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap terpencil. Dan, dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata mereka, karena membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam tanpa kehangatan dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat biji mata mereka nyaris melesat dari liangnya. Membuat darah mereka mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali, seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-lagi salah satu dari mereka geram.

"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang menghidup-matikan mereka?"

Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling. Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi seperti dalam murka yang dahsyat.

***

Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama, libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur angin menegakkan bulu kuduk.

Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar. Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***

Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.

*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen, lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya. Dia juga menjadi editor dan penerjemah freelance.
 

Alexa Site Info